Tari BARONG BRUTUK
Barong Brutuk. Barong ini terdapat di Desa Trunyan, Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuna dan kecil yang letaknya terpencil di tepi Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli, di kaki Bukit Abang. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga dan Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik. Bali Aga berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Di desa ini terdapat pohon yang sangat harum, berfungsi sebagai penyerap bau busuk dari mayat-mayat yang dikuburkan dengan sistem penguburan unik di tempat penguburan pada desa tersebut. Nama pohon itu adalah Taru Menyan yang diyakini sebagai asal mula nama desa Trunyan. Pada Purnama Sasih Kapat, masyarakat desa Trunyan merayakan upacara adat dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk dan tari Sang Hyang Dedari.
Paglaran Tari Barong Brutuk
Pagelaran Tarian Barong Brutuk dilaksanakan saat dimulainya Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat, berlangsung selama 3 hari. Barong Brutuk berjumlah 21 orang, sesuai dengan jumlah topeng yang ada di tempat penyimpanan, kabarnya topeng ini bisa berubah-ubah jumlahnya tiap kali dibuka tempat penyimpanannya, namun hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat dan mengetahui hal tersebut. Topeng barong Brutuk terbuat dari batok kelapa dengan bentuk wajah bulat sederhana berwarna hitam dengan lukisan mata berwarna putih atau coklat. Barong Brutuk merupakan penggambaran unen-unen (anak buah) Ratu Pancering Jagat. Barong Brutuk ditarikan oleh para penari pria lajang/bajang yang diambil dari anggota sekaa truna (karang taruna) yang ada di desa Trunyan, tanpa adanya musik pengiring. Para pria lajang/bajang dipilih sebagai penari Barong Brutuk karena dianggap masih suci/murni oleh masyarakat sehingga dipercaya sebagai penari dari tarian sakral Barong Brutuk tersebut.
Sebelum menarikan barong-barong sakral itu, para taruna harus melewati proses sakralisasi (proses penyucian diri) selama 42 hari. Selama masa penyucian itu, mereka tinggal di sekitar Bhatara Datonta (arca megalitik, dipercaya sebagai perwujudan dari Ratu Pancering Jagat). Setiap hari bertugas membersihkan halaman pura dan mempelajari nyanyian kuna yang disebut Kidung. Selama proses sakralisasi, para taruna itu dilarang berhubungan dengan para wanita di kampungnya, dilarang berjudi (metajen, meceki, medom, mespirit, dll.) serta dilarang minum-minuman keras dan mengonsumsi obat-obatan terlarang dan sejenisnya. Kegiatan lain yang dilakukan semasa menjalani proses penyucian, ialah mengumpulkan daun-daun pisang dari desa Pinggan (hanya daun pisang pilihan, diantaranya: daun pisang dangsaba, daun pisang ketip, dan daun pisang temaga). Daun-daun pisang itu dikeringkan dan kemudian dirajut dengan tali kupas (pohon pisang) dijadikan kostum yang akan digunakan oleh para penari Brutuk. Masing-masing penari menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun pisang itu, sebagian digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di bawah leher. Penari-penari Brutuk menggunakan celana dalam yang juga dibuat dari tali pohon pisang. Tidak diketahui mengapa daun-daun pisang itu harus dari desa Pinggan (dengan daun-daun pisang pilihan), begitu juga untuk masa penyucian selama 42 hari. Menurut masyarakat hal itu sudah mentradisi dan sudah seperti itu dari dulunya. Namun, untuk alasan mengapa menggunakan daun pisang sebagai kostum/busana penari Barong Brutuk ialah dikarenakan masyarakat desa Trunyan memanfaatkan bahan alam yang memang tersedia melimpah di sekitar desa, yakni daun pisang, sebagai bentuk pendekatan diri dan rasa syukur masyarakat terhadap hasil alam sekitar tersebut.
Pada hari pementasan (hari upacara sakral), Barong Brutuk mulai menari di pagi hari. Mereka menari di areal pura, mulai dari jeroan, jaba tengah dan jaba pura. Mereka berlari-lari dan memecut ke arah masyarakat yang menontonnya. Pecutan Barong Brutuk ini rupanya berawal dari penyakit cacar dan penyakit kulit lainnya yang pernah mewabah di Desa Trunyan. Dulu masyarakat mengobati penyakit itu dengan pecut hingga luka berdarah dan akhirnya kering dengan sendirinya. Oleh sebab itu, masyarakat setempat percaya bahwa pecutan akan memberikan kesembuhan dan keselamatan. Di akhir pementasan (sore hari) penari Barong Brutuk melepas topeng dan pakaiannya lalu melukat atau mandi di danau. Rangkaian tarian ditutup dengan penari melakukan persembahyangan dan makan bersama (megibung).
MAKNA DALAM TARIAN SAKRAL
Tersebut dalam Prasasti Trunyan, pada tahun 813 Saka (891 Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun tempat suci. Tempat suci dibangun berupa bangunan bertingkat tujuh, yang merupakan tempat pemujaan Bhatara Da Tonta. Tempat suci bertingkat tujuh ini dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan arca batu Megalitik yang dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan sebagai arca Da Tonta. Dikenal pula sebagai Pura Pancering Jagat sebagai istana Ratu Gede Pancering Jagat. Setiap dua tahun sekali di pura ini digelar upacara besar. Tepatnya pada Purnama Sasih Kapat. Masyarakat Trunyan merayakannya dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk dan tari Sanghyang Dedari. Sayangnya, tarian Sanghyang Dedari kini sudah punah, tidak ada lagi yang menarikannya. Kini yang ada hanya Tari Barong Brutuk dalam pagelaran ritual keagamaan desa adat Trunyan.
Tradisi Topeng Barong Brutuk dalam tarian sakral Barong brutuk dipercaya merupakan kelanjutan dari tradisi tarian sakral pada masa pra-sejarah Bali di desa Trunyan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya arca Bhatara Da Tonta, yang merupakan arca megalitik, yang dipercaya oleh masyarakat merupakan perwujudan dari Ratu Gede Pancering Jagat yang memiliki unen-unen (anak buah) yang digambarkan dalam bentuk Topeng-Topeng Barong Brutuk tersebut. Awalnya, dalam tarian sakral Barong Brutuk para pelakon ditandai dengan kedok wajah sebagai penanda. Kemudian tradisi itu berlanjut dengan menggunakan topeng sebagai pengganti dari kedok muka tersebut, namun tidak diketahui sejak kapan tradisi kedok muka Barong Brutuk tersebut beganti menjadi bentuk Topeng Barong Brutuk.
Topeng Barong Brutuk yang ada di desa Trunyan di masa kini, memiliki beberapa peran dalam pementasannya pada tarian sakral Barong Brutuk. Peran-peran tersebut, ialah: Raja Brutuk, Ratu Brutuk, Patih dan Kakak Sang Ratu, peran-peran ini ditandai dengan adanya janur (dengan bunga) pada rambut/kepala topeng yang memerankan. Selebihnya memerankan unen-unen (anak buah) Brutuk.
Barong Brutuk adalah tarian Barong yang dipercaya membawa keselamatan dan berkah bagi penduduk Desa Trunyan yang telah ada sejak ratusan tahun lalu. Tarian yang merupakan penggambaran kehidupan para leluhur di jaman dulu sebagai unen-unen (anak buah) dari leluhur orang Trunyan, yakni Ratu Sakti Pancering Jagat dengan istrinya Ratu Ayu Dalem Pingit Dasar. Lecutan cambuk dari penari Topeng Barong Brutuk saat menarikan tarian sakral tersebut dipercaya dapat memberi kesembuhan (tamba/obat) bagi orang yang sakit, juga lembaran-lembaran daun kraras (daun pisang kering) yang menjadi kostum penari Topeng Barong Brutuk yang dipercaya dapat memberi kesembuhan bagi orang yang sakit, kesuburan bagi sawah garapan masyarakat (bila ditebarkan disawah-sawah tersebut) dan penolak malapetaka bagi rumah-rumah masyarakat (apabila disimpan didalamnya).
Barong Brutuk dipentaskan setiap dua tahun sekali, pada upacara Ngusaba Pura Pancering Jagat yakni pada Purnama Kapat. Purnama Kapat (bulan Purnama ke-empat dalam penanggalan Bali) itu diberi kode Kapat Lanang dan Kapat Wadon oleh penduduk. Barong Brutuk hanya dimainkan pada Kapat Lanang oleh para Teruna (remaja pria). Tahun berikutnya, saat Kapat Wadon, Barong Brutuk tidak dipentaskan. Pada Ngusaba di Kapat Wadon ini, yang aktif adalah para Daa Bunga (remaja puteri). Mereka akan mengisi kegiatan upacara dengan menenun kain suci. Itulah sebabnya secara natural, Barong Brutuk hanya dipentaskan setiap dua tahun sekali.
Secara niskala, Barong Brutuk adalah simbol penguasa di Desa Trunyan (Ida Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar (perempuan) dan Ratu Sakti Pancering Jagat (laki-laki) atau dalam prasasti disebut Ratu Datonta). Barong Brutuk menanamkan pengetahuan tentang leluhur kepada generasi penerus mereka. “Barong Brutuk merupakan simbol pertemuan perempuan dan laki-laki sebagai proses kehidupan manusia. Dalam agama Hindu disebut Purusa dan Pradana,” tutur Jero Mangku Kaler, Jero Mangku di Pura Pancering Jagat.
Demikian Sobat Tradisi, artikel mengenai Tari Barong Brutuk yang merupakan tari tradisional khas Bali. Semoga bermanfaat.
Tari BARONG BRUTUK
Reviewed by Putu Ardipa
on
September 30, 2017
Rating:
Tidak ada komentar